Taman Cakat Raya: Dari 'Haze' Hingga Jadi Kawasan Wisata Paling Rame
Tulang Bawang. BERANINEWS.
SUATU hari, sekitar Pukul Lima Subuh pada Desember 1997 lalu, saya menikmati pagi bersama kabut berhawa dingin di Jembatan Cakat yang terbentang di atas Sungai Tulang Bawang yang tenang. Selasa (22/2)
Sepi. Tak banyak kendaraan yang melintas di Jalur Lintas Timur Sumatera yang relatif masih mulus saat itu. Saya menduga itu mungkin disebabkan oleh pemberitaan kabut asap akibat kebakaran hutan yang merebak selama musim kemarau panjang pada tahun itu.
Saya mengamati situasi lalu lintas dan lingkungan sekitar jembatan, lalu mewawancarai sejumlah pengendara yang memarkir kendaraannya di depan deretan gubuk-gubuk penjual ikan gabus asin.
Saya bertanya kepada para pedagang, "Apakah kabut dingin seperti ini biasa terjadi di sini."
"Biasa Bang, tapi pagi ini lebih tebal. Mungkin ini karena pancaroba sebagai tanda berakhirnya musim kemarau," jawab seorang bapak-bapak berkaos singlet.
Keterangan dari Si Bapak itu menjadi pilihan tema utama yang aku tulis hari itu. Saya juga tumpahkan semua hasil pengamatan, termasuk menuliskan aktifitas warga di dermaga yang terletak di sisi bagian bawah Jembatan Cakat.
Di bagin ini saya deskripsikan dengan menulis bahwa "Haze masih menghalagi jarak pandang pengendara di Jalur Lintas Timur Sumatera, subuh kemarin. Namun di tengah kabut dingin itu, sejumlah warga di sekitar Jembatan Cakat masih 'berani' mandi dan mencuci. Barangkali pagi adalah tanda berakhirnya kemarau tahun ini." Semoga"
Haze berasal dari Bahasa Inggris yang dalam Bahasa Indonesia berarti kabut. Kata 'haze' sengaja aku pilih untuk mengaburkan diksi kabut asap yang saat itu telah menjadi diksi kurang disukai penguasa Orde Baru.
Esoknya, Kemarau berlalu. Hujan mulai turun dan berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Namun isu kemiskinan warga hingga mengonsumsi tiwul masih bergayut selaras dengan pemandangan ramainya jemuran ubi kayu yang digantung di pagar-pagar dan genteng rumah warga, termasuk di sekitar Jembatan Cakat.
Itu dulu, ketika Kabupaten Tulang Barang baru terbentuk pada tahun 1997. Sekarang, kabupaten ini sudah banyak berubah. Bahkan daerah di sekitar Jembatan Cakat sudah sangat ramai. Di kiri kanan jalan yang dulu kumuh dengan lahan rawa hujan, kini sudah berdiri banyak rumah besar-besar.
Sekarang sulit sekali mendapati ada warga yang menjemur ubi kayu di pagar depan rumah. Sepertinya kesejahteraan telah memayungi warga di sekitar jembatan ini.
Kabupaten Tulang Bawang lahir dan diresmikan keberadaannya oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret 1997, sebagai tindak lanjut ditetapkan UU No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus.
Untuk pertama kalinya Kabupaten ini dipimpin seorang Bupati bernama Santori Hasan yang terpilih dalam sidang Pemilihan Kepala Daerah di DPRD Tulang Bawang pada 24 Nopember 1997.
Lalu kepemimpinannya dilanjutkan oleh Dr. Abdurachman Sarbini, Hanan A. Rozak, Hj. Winarti. Saat ini Kabupaten Tulang Bawang dipimpin oleh Penjabat Bupati Drs. Hi. Qudrotul Ikhwan, M.M.
Empat nama tokoh besar tersebut harus diakui ikut memberikan kontribusi besar dalam perjalanan pembangunan kabupaten ini.
Santori Hasan adalah peletak dasarnya yang dilanjutkan oleh Bupati-bupati berikutnya melalui akselerasi dan terobosan pembangunan sesuai visi dan misinya.
Tulisan ini tidak hendak menggambarkan capain itu secara rinci. Saya hanya ingin menuliskan perbandingan situasi sekitar Cakat tempo dulu dengan situasi terkini.
Amboy, Cakat yang dulu sepi, kini telah menjadi salah satu destinasi unggulan di kabupaten ini. Di sini sudah dibuka sebuah bentangan kawasan wisata bernama Taman Cakat Raya. Lokasinya berada di Kecamatan Menggala Timur.
Mengkagetkan, tepatnya mencengangkan, Dinas Pariwisata setempat melaporkan bahwa lokasi destinasi wisata ini sempat ramai didatangi wisatawan pada Perayaan Tahun Baru 2024 lalu. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang yang datang dari berbagai daerah di Lampung dan Sumsel serta Pulau Jawa.
Beberapa hari lalu, saya sempat berkunjung ke sana. Waw...amazing, jelas sekali perbedaanya. Saya melihat Indonesia Mini di Taman Cakat Raya.
Saya terpesona melihat beberapa miniatur Candi Prambanan yang berdiri indah dalam ukuran kecil dari aslinya.
Saya juga melihat keindahan keragamam adat budaya yang ditonjolkan melalui miniatur bangunan adat dari berbagai suku yang ada di Tulang Bawang.
Ada rumah adat Lampung, Jawa (Joglo), Batak (Batak Toba), dan juga rumah adat Sumatera Barat (Minangkabau).
Pesona miniatur Candi Prambanan dibangun di atas lahan seluas 9 kali 10 meter. Ini menjadi lokasi utama para pengunjung untuk berfoto ria.
Candi yang ikonik tersebut menghadap langsung ke Sungai Tulang Bawang yang memiliki panorama sangat menawan.
Taman Cakat Raya dapat diakses dari Jalan Lintas Timur Sumatera. Untuk ke sana dari Kota Menggala hanya perlu beberapa menit saja. Jaraknya dari Kota Menggala sekitar 16 km dan 120 km dari kota Bandar Lampung.
Taman Cakat Raya diproyeksikan sebagai ladang baru Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pariwisata, bersama destinasi lain yang lebih dulu dikembangkan, yakni Tugu Garuda Menggala dan Tugu Jelabat.
Masyarakat Tulang Bawang berterima kasih kepada PJ Bupati Drs. Hi. Qudrotul Ikhwan, M.M yang membuat Tulang Bawang terkenal kembali dengan diperbaiki beberapa objek wisata sehingga mengundang orang untuk tahu dan datang.
Diharapkan, momentum Hari Ulang Tahun Kabupaten Tulang Bawang yang Ke-27 Tahun, sektor Pariwisata yang kini giat dibangun dapat memberikan kontribusi besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selamat hari jadi Kabupaten Tulang Bawang Ke-27. "Teruslah Berkarya untuk Tulang Bawang yang Lebih Baik, Unggul, dan Maju".
Tulisan ini akan dikirim dan didaftakan dalam lomba.......(red)
Posting Komentar