Putusan MK Atas Pemotongan Masa Jabatan Kepala Daerah berlaku universal
Bandar Lampung. Beraninewa
Situasi perpolitikan dan bernegara serta merta berubah pasca dibacakannya Putusan Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dimana dalam diktum putusannya MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan Tahun 2018 menjabat sampai dengan Tahun 2023 dan Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan Tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.”
Demikian hal yang menjadi pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra terhadap Uji UU Pilkada tersebut yang diajukan oleh 7 (tujuh) Kepala Daerah beberapa waktu lalu.
Di dalam Sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023, Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada ini digelar pada hari Kamis (21/12/2023), ketujuh kepala daerah yang dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Pada dasarnya Putusan MK tersebut mengikat untuk keseluruhan Kepala Daerah yang masa jabatannya hingga tahun 2024 karena dalam diktum putusannya menyebut Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan Tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.”
Jadi dalam memahami putusan MK tersebut, siapapun harus berpikir komprehensif jangan parsial karena jika beragumentasi secara parsial maka akan tersesat dalam kajian hukumnya sendiri.
Di dalam putusan MK itu meskipun permohonannya diajukan hanya oleh beberapa kepala daerah yang melayangkan gugatan atau permohonan ke MK, tetapi dalam amar putusannya tidak menyebut hanya kepentingan pemohon saja, akan tetapi semua kepala daerah yang berkepentingan masa kekuasaannya hingga 2024 dengan tidak pandang bulu.
Putusan MK adalah merupakan bagian dari perangkat aturan hukum yang mengatur hak konstitusional untuk semua kepentingan warga negaranya, sehingga putusan ini harus dipandang sebagai kondisi hukum baru yang harus di laksanakan dan ditaati serta berlaku secara universal untuk kepentingan Kepala Daerah yakni Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia yang memiliki hak dan kepentingan yang sama atas putusan tersebut meskipun tidak mengajukan permohonan ke MK terkait hal ini.
Pada dasarnya putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023 ini, cara timbang dan dasar fikirnya hukumnya sama dengan pemaknaan terkait dengan putusan usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang perkaranya diajukan oleh pemohon yang tidak terkait kepentingannya secara langsung baik sebagai Capres/Cawapres 2024, akan tetapi yang menggunakan dasar putusan ini adalah orang lain diantaranya Gibran Rakabuming Raka sebagaimana dalam putusan huruf q dijelaskan bahwa Capres/Cawapres berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Jika dalam membaca putusannya secara parsial maka seolah-olah Hakim MK hanya meloloskan kepentingan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres tahun 2024, namun jika dibaca secara komprehensip maka putusan MK ini memberikan hak konstitusional kepada semua warga negara yang berkategori dan memenuhi syarat seperti Gibran Rakabuming Raka dengan catatan harus di usung oleh Partai Politik sebagai Cawapres.
Begitupun untuk putusan MK terkait Pemotongan Masa Jabatan Kepala Daerah sebagaimana putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023 adalah aturan hukum yang sah meskipun yang mengajukan permohonannya hanya 7 (tujuh) Kepala Daerah, akan tetapi aturan hukum yang diputuskan oleh MK ini merupakan aturan hukum yang bersifat universal, hal ini dapat dibuktikan di dalam putusan MK tidak hanya menyebut pemohon saja, akan tetapi dalam diktumnya menyebut Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan Tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.
Sehingga dengan adanya putusan Nomor 143/PUU-XXI/2023 berlaku juga secara mengikat untuk jabatan Gubernur Lampung dan Bupati Lampung Utara serta Kepala Daerah lainnya yang tidak turut menggugat.
Penulis: Gindha Ansori Wayka
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Cinta Kasih (LBH CIKA) dan Direktur Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka & Rekan serta Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Provinsi Lampung.
Posting Komentar