Gelar Webinar, PB SEMMI Soroti Dominasi Alkes Impor
JAKARTA - Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) kembali menyoroti persoalan alat kesehatan (alkes) impor, terutama alat tes swab Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Antigen. Kali ini melalui webinar yang diselenggarakan pada Rabu kemaren (01/09/2021) dengan tema “Menyoal Kebijakan Impor Alkes (PCR dan Antigen) dan Tarif Tesnya yang Melangit: Untuk Siapa?”
Menurut Bintang Wahyu Saputra, selaku Ketua Umum PB SEMMI, pihaknya menemukan kejanggalan terkait kebijakan impor alkes tersebut oleh pemerintah. Pasalnya, selain dominasi alkes impor jika dibandingkan dengan produk dalam negeri yang diunggah melalui e-catalog pada laman resmi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), pun menyangkut tarif yang ditetapkan cenderung tidak berpihak kepada masyarakat.
“Tes swab PCR dan Antigen ke depannya justru akan menjadi kebutuhan primer di masyarakat. Sebagaimana kebutuhan pangan sehari-hari. Nah, mengabaikan rasa keadilan bagi masyarakat dengan terus mengimpor produk asing, lantas mematoknya dengan tarif yang lebih mahal dari produk lokal, tentu memunculkan pertanyaan semisal: alkes pcr dan antigen impor, untuk siapa?” terang BWS dalam sambutannya mengawali webinar.
Hadir sebagai salah satu narasumber, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni. Ia menekankan bahwa belum maksimalnya transparansi informasi dari pemerintah mengenai persoalan urgen ini, boleh jadi, merupakan ketaksigapan pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Oleh karenanya pada sebuah poin kesimpulan, ia mengindikasi adanya potensi kartel di bisnis alat tes swab PCR dan Antigen.
Sementara itu, Rahmad Handoyo, anggota DPR RI komisi IX dari fraksi PDIP, salah satu narasumber yang santer hari-hari ini dengan pemberitaan media mengenai alkes impor itu, menegaskan bahwa jika kita bergantung terus dengan produk impor justru bisa berbahaya. Menurutnya persoalan ini harus dikaji ulang dan dikoreksi bersama.
Direktur Eksekutif ETOS Indonesia Institute, Iskandarsyah, pun turut ambil bagian sebagai salah satu narasumber dalam diskusi tersebut. Dengan nada satir, ia justru menyitir kebijakan pemerintah tersebut didasari oleh “cinta segi tiga” atau yang dimaknainya sebagai perselingkuhan di antara para penguasa: eksekutif, legislatif dan media (yang pro terhadap pemerintah, red).
“Dari sisi politik, saya melihat bahwa ini mainan mereka. Yang punya regulasi yang main. Toh, ‘cinta segi tiga’ itu gak akan pernah awet,” celetuknya.
Sedangkan kedua narasumber yang lain, dari unsur pemuda, masing-masing diwakili oleh Yayan S, Sekretaris Jenderal BEM PTAI Se-Indonesia dan Eko Pratama, Koordinator Pusat BEM Nusantara.
Dalam pemaparannya, Yayan lantas menyayangkan kehadiran Rahmad Handoyo yang hanya beberapa menit itu, lantas meninggalkan forum webinar.
“Beliau adalah wakil rakyat, apalagi sekaligus yang membidangi persoalan ini. Harusnya beliau ikut sampai selesai proses diskusi ini, mendengar semua aspirasi dari kami sebagai rakyat, biar jangan lagi ada dusta di antara kita,” paparnya.
Di lain pihak, Eko Pratama justru menyoroti persoalan sistem pelayanan kesehatan yang masih terlampau birokratis dan masih jauh dari kata memadai. Hal tersebut berdasarkan cerita pengalamannya di lapangan.
Webinar tersebut dipandu langsung oleh Muhar Syahdi Difinubun, Ketua PB SEMMI Bidang Penelitian dan Pengembangan Organisasi. Beberapa poin penting dari hasil webinar yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam tersebut, rencananya akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi dan masukan kepada pemerintah dan legislatif, dalam hal ini Komisi IX DPR RI yang membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan. (Zaki/red)
Posting Komentar