Mr. Clean Muhammad, Sebuah Menara Kejujuran
Oleh *Hamid Basyaib*
Sebagai komisaris utama sebuah BUMN kehutanan di Sumatera, Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad harus mengikuti sebuah rapat di kantor perusahaan tersebut. Malam sebelum rapat ada orang yang mengantarkan cek Rp 400 juta ke hotelnya.
"Itu cek untuk apa?” tanya Mar’ie.
“Ini bonus untuk Bapak,” jawab orang itu. “Sebab performance perusahaan tahun ini sangat baik, Pak Alhamdulillah.”
.
“Oh, taruh saja di meja itu.”
Besok paginya Komisaris Mar’ie hadir dalam rapat tersebut. Direksi menjelaskan semua aktifitas perusahaan dan kinerja keuangan dengan terinci. Mar’ie menanyakan macam-macam detail kinerja finansial yang disampaikan dengan gembira oleh direksi. Pertanyaan-pertanyaan akuntansi Mar’ie tajam dan gamblang.
Direksi makin kewalahan menjawab. Akhirnya semua peserta rapat sampai pada kesimpulan: perusahaan di tahun tersebut sebenarnya rugi, bukan untung.
"Kalau rugi seperti ini, kenapa perusahaan bisa kasih saya duit 400 juta?” tanya Mar’ie sambil menunjukkan lembar cek kepada peserta rapat.
Semua peserta terdiam. Tidak ada yang sanggup menjelaskan lebih jauh. Mar’ie mengembalikan cek itu – dan diterima oleh direksi dengan sepenuh malu.
***
Baru beberapa bulan menjabat direktur jenderal pajak, Mar’ie dikunjungi sahabatnya dari luar Jakarta. Ia juniornya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di tahun 1960an. Politisi yang bisnisnya mulai membesar itu mengatakan ia ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Mar’ie.
Ketika mereka mengobrol, Mar’ie bertanya: bantuan apa yang sudah ia berikan? Sebab ia tidak merasa pernah memberi bantuan apapun.
Sang sahabat menjelaskan bahwa pajak grup perusahaannya berhasil dikurangi separuh. Dan itu jumlah yang sangat berarti. Jadi dia datang khusus untuk mengucapkan terima kasih.
Mar’ie menanggapi bahwa temannya pasti mendengar informasi yang salah tentang urusan pajak tersebut. Ia langsung menelepon pejabat-pejabat perpajakan yang terkait dengan urusan pemotongan itu.
Di depan si kawan, Mar’ie via telepon menginstruksikan macam-macam. Intinya: Mar’ie memerintahkan supaya semuanya dikembalikan ke aturan yang benar. Pemotongan pajak itu harus dibatalkan.
Sang sahabat pulang dengan lunglai. Bisa dimengerti jika dia menyesal telah memberitahu Dirjen Mar’ie tentang berkah potongan pajak yang dinikmatinya. Seandainya ia diam saja, tentu pemotongan pajak tersebut selamat.
***
Suatu sore Mar’ie pulang ke rumahnya, dan mendapati banyak perempuan sedang mengobrol dan makan-minum. Hampir semuanya ia kenal. Mereka adalah isteri-isteri para menteri
koleganya di kabinet.
Ia memangggil isterinya ke kamar, dan bertanya ada acara apa.
Isterinya menjelaskan, itu adalah
acara arisan bulanan dan silaturahmi antara para isteri menteri.
“Tiap bulan tempatnya berpindah-pindah,” kata Ny. Etty Mar’ie. “Kebetulan bulan ini rumah kita
mendapat giliran.”
“Rumah kita?” tanya Mar’ie. “Rumah kita yang mana? Ini bukan rumah kita. Ini rumah negara!”
Kabarnya acara arisan itu buru-buru disudahi. Kerumunan nyonya-nyonya menteri bubar sambil terheran-heran dan bersungut-sungut.
***
Beberapa hari setelah menjabat Menteri Keuangan, Mar’ie Muhammad pulang ke rumah, dan mendapat laporan dari isterinya. Ada sahabat yang memberi cek senilai Rp 100 juta. Menurut si sahabat, kata Ny. Etty Mar’ie, dana itu adalah sumbangan rutinnya untuk yayasan yang menghimpun para eksponen Angkatan 66. Mar’ie adalah ketua yayasan. Ia diam saja mendengar kisah setoran itu.
Besoknya ia undang si sahabat ke kantornya. Ia bertanya: berapa sumbangan wajib setiap anggota untuk yayasan tersebut. Setelah disebutkan angkanya oleh sang kawan (jumlahnya hanya puluhan ribu rupiah), Mar’ie mengeluarkan cek Rp 100 juta itu.
“Kalau begitu, bayar saja sesuai kewajiban. Tidak perlu bayar sebesar ini,” katanya sambil menyorongkan cek kepada si pemberi.
Mar’ie menambahkan: jangan hanya karena dia jadi menteri maka sang kawan tiba-tiba menyumbang begitu besar.
Semua cerita itu dituturkan kepada saya dalam beberapa kesempatan oleh Almarhum Nurcholish Madjid. Cak Nur menceritakannya dengan terkekeh dan wajah berseri-seri. Ia tidak berusaha menutupi rasa bangganya karena punya sahabat sejujur Mar’ie. Mar’ie adalah sekretaris jenderal Pengurus Besar HMI ketika Cak Nur menjadi ketua umumnya di pertengahan sampai akhir 1960an.
***
Cerita berikut ini dituturkan oleh Goenawan Mohamad kepada saya; dalam konteks yang berbeda. Ia mendapat cerita ini dari kawannya, Satrio Budihardjo “Billy” Joedono.
Waktu itu isu mobil nasional sedang jadi perbincangan hangat. Pemerintah RI sedang memperjuangkan kesepakatannya di forum Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).
Dalam hampir semua aspek, tim pengacara pemerintah mampu mengatasi rintangan legal yang bertebaran di WTO.
Tapi ada satu hambatan besar: proyek mobnas yang akan dijalankan oleh seorang anak Presiden RI dinilai sarat konflik kepentingan, melanggar prinsip fairness dalam kompetisi, dan sebagainya.
Beberapa menteri menghadap Presiden Soeharto. Tapi, menurut Billy Joedono, sampai akhir pertemuan isu krusial itu (“program mobnas tidak boleh dijalankan oleh anak presiden”) tidak dibahas. Semua menteri kuatir Pak Harto tersinggung.
Billy Joedono termasuk pejabat yang bersikap “nothing to lose”. Ia terkenal berani bicara terbuka
– kadang bahkan terlalu “terbuka.” Maka Goenawan bertanya, kenapa Billy tidak menyampaikan keluhan itu kepada Pak Harto. Apalagi, Menteri Perdagangan adalah pejabat yang paling
berkepentingan dengan urusan di WTO.
"Wah, kok gua ….,” jawab Billy. “Mar’ie aja nggak berani!”
Selain komedial, jawaban Billy menggambarkan apa dan bagaimana Mar’ie Muhammad. Billy sang pemberani pun mengakui bahwa Mar’ie selalu lebih berani – kecuali dalam soal mobnas itu.
Pak Harto memang diketahui menaruh hormat tinggi pada Mar’ie, yang sudah dikenalnya sebagai tokoh HMI di masa akhir “Orde Lama” dan awal “Orde Baru”. Pak Harto memanggil Mar’ie “ustad” – suatu pengakuan atas kualitas ahlak Mar’ie. Ia juga tentu diperlukan sebagai a face of honesty and integrity bagi kabinet.
***
Tentu kejujuran Mr. Clean membuat banyak orang kagum dan respek kepadanya. Siapapun tahu, tidak mudah berlaku seperti itu, apalagi dalam posisi setinggi posisinya. Tapi pasti tidak semua orang menyukai kekokohan integritas yang tanpa ampun itu.
Para bawahan yang terbiasa membidik penghasilan tambahan, misalnya, akan merana bekerja di bawah Mar’ie. Para kolega yang jabatannya setingkat, yang memang tak pernah ingin memiliki ketegaran seperti Mar’ie, tentu kurang happy. Integritas Mar’ie, yang mendapatkan simpati kian luas karena dikukuhkan oleh media massa, membuat diri mereka sendiri tampak keruh.
Apakah kepergian Mr. Clean meninggalkan lubang besar pada bangunan birokrasi, terutama di lingkungan Kementerian Keuangan? Apakah mustahil ada pejabat lain sejujur Mar’ie?
Saya tak percaya teladan Mar’ie tak berbekas. Masih cukup banyak pejabat kita yang integritasnya juga tinggi. Bentuk-bentuknya mungkin tak seimpresif yang ditunjukkan Mr. Clean. Tapi mereka, dengan cara masing-masing, juga terus berusaha bekerja sebaik-baiknya untuk
negara. Mereka pun menjaga tiap rupiah agar termanfaatkan optimal untuk memajukan bangsa.
Dari atas sana, saya rasa Mr. Clean juga setuju dengan optimisme ini.
Dimuat di Media Keuangan, Oktober 2018.
Posting Komentar