AHLI HUKUM AGRARIA: PT. KAI TIDAK MEMILIKI DOKUMEN ASLI GROUNDKAART
Bandar Lampung , Berani news.
Warga bantaran rel KA se-Provinsi Lampung terganggu dengan PT. KAI terkait klaim lahan Groundkaart Belanda yang dibuat pada 1913. Dasar Grounkaart ini petugas PT. KAI sering mengganggu warga dengan sosialisasi, pengukuran dan perjanjian sewa yang mengusik ketenangan. Selanjutnya terungkap bahwa PT. KAI tidak memiliki bukti fisik groundkaart yang asli, hanya memiliki salinan saja.
Terkait hal ini, Guru Besar Hukum (Gubes) Agraria Universitas Indonesia, Prof. DR. Ny. Arie S. Hutagalung SH, MLI, dalam Fokus Grup Diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Akuntabilitas Publik DPD RI beberapa waktu lalu, di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, dengan tegas menyatakan GrondKaart yang menjadi pegangan PT. Kereta Api Indonesia mengklaim asset lahannya bukan merupakan alas hak. “GrondKaart hanya berupa gambar situasi atau semacam surat ukur, jadi tidak bisa dikatakan sebagai alat menegaskan fomal yuridis kepemilikan lahan.” Sebutnya.
“Aspek kepastian dan perlindungan hukum berkenaan dengan legalitas tanah-tanah aset kereta api adalah ditentukan dengan mengikuti ketentuan pendaftaran konversi eks Hak Barat. Secara kronologis berkenaan dengan perubahan status badan hukum pada perusahaan yang kemudian menjalankan perkereta apian di Indonesia, yaitu bahkan sejak sebelum era DKA (Djawatan Kereta Api) yang berlanjut hingga sebagaimana ditemukan dalam situs resmi PT.KAI (persero), hingga saat ini tidak ada proses sertifikasi GrondKaart menjadi kepemilikan sesuai konversi hak-hak Barat yaitu; eigendom, opstal maupun erpacht. Apalagi, secara bukti fisik Grondkaart tidak ditemukan aslinya. Yang ada hanyalah salinan. Dengan demikian grondkaart bukan merupakan alas hak formil yuridis kepemilikan PT. KAI” Tandasnya.
Selanjutnya, nara sumber lain yang diundang menjadi pembicara dalam FGD ini, Dr. Kurnia Warman, SH, M.Hum, Wakil Dekan Fak Hukum Universitas Andalas Padang, menyebutkan; ” Pada saat konversi hak2 barat menuju nasionalisasi di tahun 1960-an, pendaftaran tanah memerlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi spt Groondkaart dsb) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke Buku Tanah dan Sertifikat Tanah-nya sesuai kewenangan instansi pemerintah ybs. Sesuai UUPA no. 5/1960 diberikan batas waktu 20 tahun untuk mendaftarkan lahan2 yg berasal dari hak barat. Dalam kajian kami, lahan2 yang tergolong grondkaart tidak didaftarkan ke BPN, sehingga dengan demikian grondkaart menjadi tanah negara bebas, yang jika orang seorang mendaftarkan tanah tersebut BPN tidak bisa menolaknya.”
Nara sumber ketiga yang berbicara dalam FGD ini adalah Yuli Indrawati, SH, LL.M, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyampaikan pendapatnya; “Kekisruhan asset PT. KAI berawal dari kelalaian administrasi. Dari hasil penelitian kami, Pihak Kementerian Perhubungan tidak mengeluarkan surat kementerian yang menyebutkan secara spesifik menyerahkan lahan kepada PT. KAI sebagai penyertaan modal atau penambahan modal, kalau pun ada itu harus dibuat dalam bentuk Peraturan Menteri tentang penyerahan dan menyertaan asset, demikian juga tidak ada laporan atau surat yang ditujukan kepada Kemenkeu dalam hal administrasi lahan kereta api sehingga sama sekali tidak tercatat dalam kekayaan negara.”
“Mengingat masalah ini telah berdampak luas dan dalam rangka melindungi kepentingan umum dan kepentingan nasional, Presiden Republik Indonesia sebaiknya menetapkan keputusan strategis dan penting agar warga masyarakat tidak dirugikan dan PT Kereta Api Indonesia dapat memberikan penghormatan yang layak dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan harkat martabat kemanusiannya.” Tutup Yuli Indrawati.
Menanggapi hasil FGD ini dan dikaitkan dengan permasalahan status lahan grondkaart yang telah melebar bukan hanya di Lampung tetapi juga di wilayah Padang dan Bukit Tinggi – Sumatera Barat, Semarang – Jawa Tenga, Kota Medan – Sumatera Utara, dan kita2 lainnya, Anggota DPD RI Andi Surya yang konsisten memperjuangkan nasib warga bantaran rel KA menyatakan; “Dari fakta2 yang disampaikan para ahli hukum agraria dibatas menunjukkan bahwa PT. KAI tidak memiliki alat formal yuridis untuk menegaskan bahwa grondkaart adalah asset-nya, bahkan PT KAI tidak memiliki dokumen asli groundkaart, disamping itu Kementerian Keuangan melakui Dirjen Aseet menyayakan bahwa groundkaart ini tidak tercatat di SIMAK (Sistem Informasi Manajemen Akuntasi Barang Milik Negara) oleh karenanya demi keadilan dan menghormati kebijakan Presiden Jokowi dalam hal sertifikasi lahan warga yang telah ditempati puluhan tahun maka selayaknya PT. KAI legowo dan secara ikhlas melepaskan lahan2 grondkaart untuk kepentingan warga masyarakat yang membutuhkan kepastian lahan mikiknya”. Tutup Andi Surya.
Posting Komentar